Jumat, 05 Agustus 2011

TAJDID NIKAH DALAM ISLAM [ BAHASA JAWA : NGENYARNO NIKAH ] DALAM MASYARAKAT ISLAM


KONSEP TAJDID NIKAH DALAM ISLAM
1. Pengertian
Secara Etimologi kata  “ Tajdiidun Nikah, berasala dari  kata,  Jaddada – Yujaddidu – Tajdiidan  yang artinya   pembaharuan” 1). Yang dimaksud pembaharuan disini adalah memperbaharui nikah. Kata nikah berasal dari kata nakaha  - yankihu – nikaha yang berarti Nikah“2).
Namun masyarakat luas sering menyebut dengan Istiah “ TAJADUD”    Tajaddud  berasal dari bahasa arab, dari  kata  tajaddada – yutajaddadu - tajaddudan  yang artinya menjadi baru lagi “ 3).
Konsep Tajaddud ini sering kali dipakai oleh masyarakat dalam hal  memperbaharui nikah, atau  mbangun nikah.  Dalam bahasa Jawa sering disebut dengan istilah “Nganyari Nikah”. 
Menurut  bahasa Nikah berarti “menghimpun dan ngumpulkan”4). Dalam pengertian fikih “Nikah adalah akad yang mengandung kebolehan melakukan hubungan suami istri dengan lafal nikah/kawin atau yang semakna dengan itu”5). Dalam pasal 2 (dua) Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa “ Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan yaitu akad yang kuat atau mitsaqon gholidhon   untuk    menaanti  perintah  Allah    dan    melaksanakannya      adalah Ibadah” 6). . Ta’rif perkawinan menurut Sulaiman Rasyid “7),  Ialah akad yang  menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta bertolong-tolongan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang antara keduannya  bukan muhrim.
               Dari uraian  tersebut diatas tampak jelas bahwa yang dimaksud  dengan “ Tajdid Nikah  dalam Pernikahan “ adalah pembaharuan Aqad Nikah.  atau memperbaharui Akad Nikah atau mengulang  Akad Nikah. Yang dalam bahasa Jawa sering disebut dengan istilah “ Nganyari Nikah. Atau lebih dikenal dengan Istilah Mbangun Nikah.  

2. Dasar Hukum Tajdid Nikah
Tajdid Nikah atau memperbaharui Nikah dan yang lebih dikenal dengan istilah Mbangun Nikah serta dalam bahasa Jawa sering disebut dengan istilah Nganyari Nikah,  sama sekali tidak diketemukan dasar hukumnya, baik dari Al-qur’an. maupun Sunnah Nabi.
Dikalangan para Ulama hal tersebut menjadi perbedaan pendapat ada yang membolehkan dan ada yang melarang atau memberikan batasan – batasan tertentu, agar pernikahan yang memiliki nilai sakral tersebut tidak menjadi barang mainan
Menurut  Syaikh Isma’il Al-Yamani Al-Makki berpendapat bahawa :

ان مسئلة تجديد النكاح الذي هو عبارة عن تكرير عقد لتجمل او احتياط ليست من المسائل الحادثة في هذه الازمنة الآخرة على معنى لايكون لها ذكر في كلام فقهائها المتقدمين بل هي مذكورة في المنهاج للامام النواوي رحمه الله تعالى وهو من اهل القرن السادس واظنه مسبوقا في ذالك غير انه لم يشتهر العمل بمقتضاها الا لاهل ناحيتنا وهم اهل انصاف للحق واحتياط


Artinya : Sesungguhnya masalah Tajdid Nikah yang berarti berulang – ulangnya akad Nikah untuk memperindah dan hati – hati, bukan masalah baru yang muncul belakangan ini, dalam arti tidak pernah di singgung dalam kajian Fiqih Klasik, bahkan sesungguhnya telah disebutkan dalam kitab Minhaj, karya Imam Nawawi yang hidup pada abad ke Enam, dan saya kira sebelumnya (sudah ada penyebutanTajdid Nikah) hanya saja tidak populer di praktikkan kecuali beberapa daerah tertentu yang penduduknya adalah orang – orang yang berpegangan kepada kebenaran dan berhati – hati. “8)


Dalam kesempatan lain ketika beliau di tanya tentang Tajdid Nikah beliau menjawab :
اذا قصد به التأكيد فلابأس به لكن الاولى تركه
Artinya:  “Apabila Tajdid Nikah itu untuk mengokohkan ‘akad yang pertama maka tidak apa-apa, akan tetapi sebaiknya tidak usah di praktikkan”9).

Dalam kitab At-Tuhfah, Juz VII, , disebutkan  


أَنَّ مُجَرَّدَ مُوَافَقَةِ الزَّوْجِ عَلَى صُورَةِ عَقْدٍ ثَانٍ مَثَلاً لاَ يَكُونُ اعْتِرَافًا بِانْقِضَاءِ الْعِصْمَةِ اْلأُولَى بَلْ وَلاَ كِنَايَةَ فِيهِ وَهُوَ ظَاهِرٌ إِلَى أَنْ قَالَ وَمَا هُنَا فِي مُجَرَّدِ طَلَبٍ مِنْ الزَّوْجِ لِتَجَمُّلٍ أَوْ احْتِيَاطٍ فَتَأَمَّلْهُ.


"Sesungguhnya persetujuan murni suami atas aqad nikah yang kedua  (memperbarui nikah) bukan merupakan pengakuan habisnya tanggung jawab atas nikah yang pertama, dan juga bukan merupakan kinayah dari pengakuan tadi. Dan itu jelas ….s/d … sedangkan apa yang dilakukan suami di sini (dalam memperbarui nikah) semata-mata untuk memperindah atau berhati-hati". 10.

Inilah yang menjadi salah satu alasan bagi mereka yang membolehkan Tajdid Nikah,  yakni  dengan niatan  semata – mata untuk memperindah atau agar mereka  lebih berhati – hati  dalam menjaga pernikahan atau perkawinannya..

Bagi yang melarang atau memberikan batasan – batasan tertentu mereka  memiliki alasan yang lebih jelas. Karena sesungguhnya masalah pernikahan itu adalah masalah ibadah yang sudah barang tentu  harus mengikuti Sunnah Nabi.
Dalam kitab  Al-Anwar, Juz II, disebutkan  bahwa :

وَلَوْ جَدَّدَ رَجُلٌ نِكَاحَ زَوْجَتِهِ لَزِمَهُ مَهْرٌ آخَرُ ِلأَنَّهُ إِقْرَارٌ بِالْفُرْقَةِ وَيَنْتَقِضُ بِهِ الطَّلاَقُ وَيَحْتَاجُ إِلَى التَّحْلِيْلِ فِى الْمَرَّةِ الثَّالِثَةِ.
 "Jika seorang suami memperbaharui nikah kepada isterinya, maka wajib member mahar (mas kawin) karena ia mengakui perceraian dan memperbaharui nikah termasuk mengurangi (hitungan) cerai/talaq. Kalau dilakukan sampai tiga kali, maka diperlukan muhalli". 11.

Hal yang sama  juga disampaikan oleh Yusuf al-Ardabili” 12.,bahwa “tajdidun nikah dihukumi sebagai ikrar bith thalaq (pengakuan cerai), wajib membayar mahar lagi dan mengurangi adaduth thalaq (bilangan talak).  
Begitu agungnya pernikahan tersebut sehingga Allah menggunakan istilahMitsaaqon gholidhon pada ikrar pernikahan,lihat An nisa’ 21.Dan istilah tersebut juga digunakan Alloh pada perjanjianNya dengan bani israil,lihat An nisa’ 154,dan juga dalam perjanjianNya dengan para Nabi,lihat Al Ahzab 7. Ini semua menunjukkan bahwa pernikahan adalah sebuah ikrar sakral yang sekali terjadi untuk selama-lamanya dan tidak boleh dibuat main-main dengan  sering menyebut kata-kata  talaq kepada istrinya. Karena kalau sampai menyebut kata talaq kepada istrinya hingga tiga kali maka akan jatuh talaq bain,yang tidak boleh rujuk lagi kecuali ada muhalli(istri nikah dulu dengan orang lain).Ini yang dipahami oleh para ulama-ulama madzhab…Jadi kalau tiap tahun membangun nikah karena ada kekhawatiran pernah ada ucapan talaq sehingga khawatir aqadnya rusak,maka ini adalah perbuatan yang bertentangan dengan syara’ yang dipahami para ulama tersebut.Karena hakekatnya ketika sudah bangun nikah pada ketiga kalinya,istrinya sudah tidak sah lagi untuk dinikahinya pada bangun nikah berikutnya.
Namun jika membangun nikah itu karena diakibatkan keraguan akan rusak pada akad sebelumnya karena dimungkinkan ada kata-kata talaq dari suami,maka dalam kasus seperti ini boleh untuk bangun nikah atau Tajdidun nikah, dengan catatan masih dalam masa ‘iddahnya. Dan caranya cukup suami berkata kepada istrinya,’saya mau rujuk sama kamu’,dan istrinya menerima maka mereka sah menjadi suami-istri dengan aqad yang baru,tanpa perlu ada saksi dan wali.  
Jika membangun nikah / Tajdidun nikah dalam rangka mengesahkan ke KUA yang sebelumnya sudah nikah sama kyai. Maka menurut Ibnu Hajar, pernikahan kedua dihadapan KUA tersebut boleh tanpa menggugurkan ke absahannya dan akad pernikahan sebelumnya, dengan syarat mempelai pria tetap meyakini ke absahannya aqad sebelumnya. (Syaraha al Manhaj Lisyihab Ibni Hajar juz : 4/391 ) .
Jadi kalau bangun nikahnya setiap tahun atau setiap 25 tahunan apalagi setiap minggu sekali yakni pada hari Jum’at legi sekali, maka itu tidak pernah ada di jaman Nabi ,sahabat, tabi’in atau jaman apapun kecuali jaman kita ini. Karena pada dasarnya Nikah = Mitsaaqon gholiidhon yang berlaku sepanjang masa,dan jangan dibuat mai-main,karena ia adalah ikrar yang sakral di Mata Alloh dan di mata manusia.
Dalam majalah AULA no 8 Tahun VII Sepetember 1990,” 13. sedikit  disinggung juga masalah Tajdiidun Nikah.  Di sana dinyatakan bahwa,   masalah tajdidun nikah tidak ada kitab-kitab fiqh dari empat madzhab yang menyinggungnya; karena masalah NTR (nikah, talak dan ruju')sudah diatur dengan jelas dalam syariat agama Islam. Sebagaimana kita maklumi bersama bahwa nikah itu dapat menjadi sah jikan dilakukan terhadap wanita ajnabiyah yang belum menjadi isterinya; dan tidak sah jika dilakukan terhadap wanita yang masih berstatus sebagai isterinya.  Sedangkan terhadap isteri yang sudah ditalak dengan talak raj'i saja, jika isteri tersebut masih dalam masa iddah, tidak perlu dilakukan nikah pembaharuan/tajdidun nikah atau nikah ulang, tetapi cukup hanya dengan diruju' kembali dengan mengucapkan: "Kamu saya ruju'!". Jika isterinya tidak menolak, maka hukumnya sudah sah menjadi suami isteri kembali, tanpa harus ada wali dan saksi. Adapun tajdidun nikah bagi pasangan suami isteri yang kawin menurut syariat agama Islam. kalau kita teliti adalah bersumber dari golongan  orang-orang yang berpendapat bahwa disamping Allah swt masih ada yang menentukan kebahagiaan dan kesengsaraan hidup seseorang yang berumah tangga, yaitu hari pasaran: dan orang-orang ini pada hakikatnya adalah orang-orang musyrik, karena kalau ada pasangan suami isteri yang hidupnya masih belum tenang dan tenteram, maka yang disalahkan adalah hitungan hari pasaran pada waktu melangsungkan akad nikah, sehingga disuruh melakukan Tajdidun Nikah pada hari dan pasaran yang sesuai menurut hitungan mereka.
Menurut “  Habib Mahmud “, 14. bahwa  memperbaharui nikah atau dalam bahasa arab disebut Tajdidun Nikah, diperbolehkan untuk talak kategori satu dan dua, sementara untuk talak tiga tidak boleh diperbaharui. Tapi kalau ada pasangan yang sudah talak tiga, namun ingin rujuk kembali, maka, Kata Habib Mahmud,  si istri harus dinikahi dulu oleh orang lain atau disebut Mahallul dan harus berhubungan badan. Setelah itu, mahallul boleh menceraikan istrinya, untuk kemudian bisa dinikahkan dengan suami yang telak menceraikannya dengan talak tiga tadi.
Karena itu penting untuk kita ketahui tentang aturan Nikah, Talak dan Rujuk dalam Islam. Sehingga kita akan tahu apakah pelaksanaan Tajdid Nikah yang kita lakukan itu sesuai dengan aturan – aturan hukum Islaam atau tidak.  Pengetahuan tersebut paling tidak dapat digunakan sebagai acuan atau pedoman kita dalam menjalankan syari’at Islam berupa Nikah, Talak dan Rujuk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Audio da'wah