Setiap musim liburan tiba, kita sering
melihat respon yang berbeda antara anak dengan orang tua. Anak-anak dengan
gembira dan semangatnya menyambut liburan mereka, sedangkan orang tua malah pusing
dan bingung karena mereka harus memikirkan aktivitas apa saja yang dapat
mengisi liburan, sehingga kegiatan anak tetap terarah dan berkualitas.
Kepusingan orang tua
sering dialami oleh para orang tua yang bekerja, karena
mereka tidak bisa sewaktu-waktu mengambil cuti dari kantor. Tuntutan pekerjaan
membuat mereka tidak mudah meninggalkan tanggung jawab setengah jalan untuk
urusan “liburan”. Idealnya, antara orang tua dan anak, ada perencanaan yang
baik dalam menentukan waktu “liburan bersama keluarga” sehingga tidak perlu ada
yang mengorbankan kepentingan atau tanggung jawab. Namun, sudah tentu waktu
libur anak yang relatif panjang sekali jika dibandingkan dengan libur orang
kerja, tidak akan pernah“match” dengan
orang tuanya. Bagaimana mengelola kegiatan terutama pada waktu orang tua tidak
bisa extending waktu libur mereka bersama anak?
Liburan Murah Meriah
Bisa dimengerti, bahwa dalam kesibukan para orang tua, dari pagi hingga
malam, bekerja penuh waktu, segenap energi, pikiran dan ide-ide kita sering
buntu – tidak lagi bisa memikirkan hal-hal lain selain dari pekerjaan hari ini
dan pekerjaan esok hari yang sudah in-advance dipikirkan malam sebelumnya.
Dalam keadaan seperti itu, kita para orang tua sering lupa, bahwa kita pun dulu
pernah kecil, pernah melewati masa kanak-kanak yang amat sangat jauh berbeda
dengan masa kanak-kanak anak-anak kita sekarang ini. Dulu, kita tumbuh dan
berkembang dalam lingkungan yang amat sangat jauh lebih sederhana, tanpa
kekurangan “media” bermain dan fasilitas permainan. Ada saja ruang dan
bahan-bahan yang bisa kita jadikan permainan tanpa harus membayar mahal-mahal
dan tanpa harus mengeluarkan biaya transportasi yang mahal. Halaman belakang
rumah, halaman tetangga, kebun nenek kakek atau pun, parit kecil di depan rumah
– sering dipakai bermain, terutama di kala hujan.
Tidak bisa dipungkiri, jaman sudah berubah, tuntutan kian
mengejar dan usia semakin menua, membuat kita para orang tua lupa bagaimana
kita dulu mengelola liburan kita, tanpa harus selalu mengikutsertakan orang
tua. Artikel kali ini, bertujuan untuk sekedar mengingatkan dan memberi
alternatif – bagaimana cara mengisi liburan anak, tanpa harus bepergian jauh,
apalagi dengan mengeluarkan biaya yang besar. Sebab, tidak semua keluarga mampu
memiliki biaya atau budget yang memungkinkan untuk “liburan”...Kita bisa
membuat liburan tetap menjadi moment istimewa, meskipun dengan biaya ringan
atau pun bahkan tanpa biaya. Bagaimana menyiasatinya?
1. Liburan ilmiah
Liburan ilmiah yang dimaksud di sini, adalah liburan sambil
menimba ilmu. Bagaimana caranya supaya tidak bosan dan “menyebalkan”? Kita bisa
membawa anak-anak berjalan-jalan ke musium yang ada di dekat tempat tinggal
kita, entah musium zoologi yang ada di kota Bogor, Kebun Raya Bogor, musium
geologi di Bandung, BOSCHA (tempat teropong bintang) di Lembang atau pun yang
ada di seputar Taman Ismail Marzuki. Di Jakarta ada musium ABRI (Satria
Mandala), di Yogyakarta ada musium sekaligus monumen perjuangan Yogya Kembali.
Dan, masih banyak musium yang tersebar di seluruh Indonesia. Dengan membawa
mereka ke musium, mereka belajar banyak tentang sejarah masa lalu, entah
sejarah kehidupan manusia, kehidupan tumbuhan dan hewan, serta alam semesta.
Biaya masuk ke musium relatif sangat murah ketimbang “shopping” di Mall.
Mengisi liburan ilmiah, tidak hanya dengan pergi ke
musium; pergi ke pasar pun bisa menjadi ajang liburan ilmiah. Kalau kita tidak
di”ganggu” oleh kekhawatiran kita yang sering kelewat batas kalau membawa anak
ke pasar (takut becek, takut kotor, takut lelah, takut sakit, dsb) yang
sesungguhnya sering ditunggangi oleh ke-egoisan kita (tidak mau repot bawa anak
ke pasar). Di pasar, banyak sekali komoditas yang dijual dan ditampilkan dalam
“etalase” terbuka. Ada bawang merah, cabe, sayur mayur, bumbu dapur, alat
memasak, dsb. Pasar adalah pusat informasi yang menyimpan “data base” amat
besar. Ribuan variable yang dapat kita temukan di pasar dan masing-masing
“variabel” dapat kita jelaskan pada anak. Misalnya, kita tunjukkan pada anak,
yang manakah bawang merah dan manakah bawang putih, bagaimana mereka tumbuh,
mengapa kita perlu bawang merah, mengapa kita perlu bawang putih, apa kegunaan
dan manfaatnya, dsb. Atau, mana kah yang namanya ikan mujair dengan ikan
tongkol, cumi-cumi dan kepiting (dalam wujud yang utuh, bukan lagi dalam bentuk
transformasi yang sudah tersaji di meja makan). Kalau informasi itu
dikumpulkan, maka tidak cukup 12 ensiklopedi untuk menjelaskan semuanya. Kita
bisa menjelaskan segala sesuatu secara panjang lebar di rumah, setelah kita
menunjukkan pada anak benda-bendanya. Dan, pasti lebih menyenangkan jika anak
melihat secara langsung “tumpukan” komiditas di pasar. Bagi anak-anak yang
perkembangan intelektualnya masih membutuhkan benda-benda kongkrit untuk
menunjang pengertian mereka, “study tour” adalah moment yang penting.
2. Liburan kreatif & innovatif
Kita bisa mengarahkan dan membangkitkan kreativitas anak
dengan menstimulasi imajinasi mereka. Pada dasarnya, anak-anak itu sangat
kreatif dan heavy-loaded by
energy. Kita (atau pengasuh,
atau siapapun yang bisa kita percaya) bisa bawa mereka ke tempat art &
craft center atau pun science club untuk anak-anak, dengan biaya relatif murah.
Di sana, mereka akan disajikan banyak sekali hal-hal yang belum mereka ketahui,
percobaan-percobaan ilmiah atau pun teknik-teknik seni yang akan menghasilkan
karya yang membuat mereka bangga akan diri sendiri. Memang, ktia tidak
selamanya bisa membawa mereka ke tempat-tempat tersebut. Kita pun bisa
menciptakan liburan kreatif dan innovatif di rumah. Kalau kita tidak punya ide
sama sekali tentang apa dan bagaiamana, kita bisa membeli buku yang menjabarkan
tentang berbagai percobaan menarik yang dapat dilakukan sendiri di rumah. Mulai
dari percobaan unsur (yang sederhana saja, misalnya minyak dengan air), percobaan
warna (memadukan warna) sampai dengan mencoba membuat sesuatu / constructing
things – dari benda-benda yang ada di rumah, misalnya: kardus, karton tebal,
tripleks bekas, koran bekas, akuarium bekas, stoples beling kosong, dsb yang
bisa digunakan menjadi media atau pun alat eksperimentasi atau konstruksi. Nah,
di sinilah peran ayah sangat penting untuk menemani dan men-supervisi anak
laki-laki. Dan, peran ibu untuk mau “menyulap” benda-benda yang ada di rumah,
menjadi bahan baku yang potensial untuk menciptakan sesuatu.
Di masa liburan ini pula, anak-anak bisa kita perkenalkan
dengan kegiatan “baru”, misalnya : belajar memasak (membuat kue, dsb), belajar
menjahit, menyulam, menari (kalau yang ini, mungkin harus kursus / jadi anggota
sanggar), menukang, atau bertanam (tidak mesti harus punya halaman luas, karena
bisa dengan menggunakan polybag (kantong khusus untuk menanam bibit) atau pot
kecil. Jangan cemaskan hal-hal yang insignifikan, misalnya “bagaimana kalau
anakku capek, bagaimana kalau rumah kotor, bagaimana kalau kaki kena tanah,
bagaimana kalau bajunya basah, bagaimana kalau halaman jadi becek” dsb... Kalau
kita mau jujur, bukankah semua kekhawatiran itu disebabkan karena kita tidak
mau repot-repot atau capek-capek membereskan “perabotan” atau pun membersihkan
kotoran?
Nah, sebenarnya kita bisa sekalian mengajarkan pada anak
kita, bagaimana mengerjakan segala sesuatu dengan rapi. Kita pun bisa sekalian
mengajarkan pada anak kita “tanggung jawab”, artinya, kalau sudah selesai
mengerjakan, kita pun harus membereskannya kembali. Hati-hati, kekuatiran kita
para orang tua, bisa menghalangi anak “mengenyam, mempelajari dan
menginternalisasi” nilai-nilai luhur budi pekerti, seperti : tanggung jawab,
kreativitas, konsekuensi (sebab akibat), kebanggaan yang positif pada diri
sendiri (atas dasar kemampuan diri yang riil – bukan numpang kekuatan dan kejayaan orang tua),
ketekunan, persistensi, konsentrasi, koordinasi (baik koordinasi tangan,
pikiran dan perasaan – dengan koordinasi dengan pihak lain) serta satu hal yang
nilainya tidak kalah tinggi, yakni: membentuk tangga identitas diri. Setiap
aktivitas, merupakan sebuah ekspresi diri sekaligus konfirmasi akan kemampuan
dirinya. Kalau anak merasa “mampu” dan berhasil mengatasi tantangan yang satu,
maka dalam dirinya tertanam rasa percaya diri untuk melakukan eksplorasi demi
eksplorasi ke bidang-bidang lainnya.
3. Liburan empatik & sosial
Ada lagi jenis kegiatan yang relatif murah untuk mengisi
liburan anak dengan nilai yang tinggi. Kita bisa membawa anak-anak, pergi ke
panti asuhan untuk melihat teman-teman mereka yang hidup di panti asuhan.
Dengan begitu, anak-anak akan melihat bahwa di dalam hidup ini, ada banyak hal
yang belum mereka ketahui, bahwa ada banyak anak-anak yang menjalani hidup
sangat berbeda dari anak-anak kita – dan ternyata, banyak juga yang meskipun
hidup susah, tapi tetap bahagia, tahu bersyukur, tidak cerewet, tidak mengeluh
dan bahkan punya semangat belajar dan semangat juang yang tinggi.
Selain ke panti asuhan, kita juga bisa ajak anak-anak ke
panti jompo. Di sana, kita bisa membuka pengertian anak dan menanamkan nilai
moral, bahwa setiap orang akan menjadi tua, dan meskipun tua, mereka tetap
membutuhkan perhatian dan kasih sayang, terutama setelah apa yang mereka
berikan pada anak-anak selama ini. Kesempatan ini, dapat bermanfaat untuk
menanamkan kebijaksanaan pada anak, akan pentingnya “orangtua” untuk
anak-anaknya. Sebenarnya, dengan mengajak anak kita ke dua tempat: panti asuhan
dan panti jompo, kita sekaligus menyampaikan sebuah fakta : bahwa setiap orang
di dalam hidup ini saling membutuhkan dan saling memberikan. Tiadanya perhatian
dan cinta, dapat membuat hidup menjadi sulit dan tidak bahagia; tapi, perhatian
hanya dalam bentuk hadiah, barang, dan bentuk-bentuk materi lainnya – ternyata
tidak dapat membuat orang benar-benar bahagia.
4. Liburan petualangan
Liburan petualangan, biasanya diasosiasikan dengan biaya
yang mahal dan perjalanan yang jauh. Sebenarnya tidak harus demikian, karena di
setiap tempat, disetiap kota, pasti punya sisi terpencil yang amat menarik
untuk dijadikan ajang petualangan. Coba jika Anda ingat ketika masih kecil
dahulu, bukankah mengejar layangan putus sambil menelusuri sungai kecil – sudah
menjadi pengalaman yang luar biasa? Mungkin, saat ini sungai kecil itu sudah
tidak ada lagi – tidaklah masalah. Kita bisa mengajak anak-anak, pergi
berjalan-jalan ke perkebunan teh, ke kebun raya, ke kebun binatang, ke gua, ke
sawah, ke pemancingan (di daerah cibinong, ada sebuah pemancingan besar untuk
umum, sekaligus tempat camping dan planting),
ke gunung, ke mata air panas, ke air terjun atau ke peternakan (di daerah
lingkar jakarta selatan, ada semacam istal kuda yang terbuka untuk umum).
Sebenarnya, semua tempat itu accessible dan possible,
selama kita para orang tua,willing to go out of the box, get out from the
bed and comfort zone, dan doing extra effort to have advanture. Kendalanya,
sesungguhnya lebih terletak pada diri kita sebagai orang tua. Kita memang
sering terbentur waktu, dan kesempatan – tapi, kalau kita ingin jujur,
sesungguhnya yang menghambat seringkali, adalah diri kita yang sepertinya
“sudah terlalu lelah untuk melakukan apapun kecuali tidur atau sekedar
jalan-jalan ke mall”. Padahal, kalau kita mau mencoba keluar dari lingkaran
kehidupan dan kegiatan yang membuat energi kita terperangkap di dalam lingkaran
itu, maka kita para orang tua yang sudah pada kelelahan, kita bisa men-chargekembali battery energy yang sudah low. Asalkan, selama bepergian,
kita tidak membawa serta semua idealisme dan konsep-konsep “berlibur yang
ideal, anak yang baik, orang tua yang sempurna, dsb” yang hanya akan membebani
mental kita sendiri. Biarkan semua orang bisa mengekspresikan minat, emosi dan
ide-idenya – justru karena ada media yang tepat untuk menyalurkannya.
O ya, suasana petualangan, tidak harus artinya kita pergi
jauh dari rumah. Jika kita, atau salah satu famili memiliki rumah dengan
halaman yang cukup luas, maka kita bisa mendirikan tenda di halaman itu, dan
membiarkan anak-anak “camping” di tenda. Tentu moment ini menjadi moment yang mengasikkan, apalagi jika
anak-anak kita bergabung dengan para sepupunya.
5. Liburan super-aktif
Mengingat anak-anak adalah pribadi yang paling aktif,
maka kita pun bisa mengarahkan dan menyalurkan energinya, pada kegiatan yang
mengasikan. Jikalau pergi ke pantai untuk berenang dan main pasir atau
mengumpulkan kerang – terlalu sulit untuk dilakukan, atau terlalu jauh untuk
dijalani, maka kita bisa mengajak anak-anak pergi ke lapangan bola terdekat,
untuk “bertanding sepak bola”, atau pergi ke kolam renang terdekat, untuk adu
renang; atau, membantu ayah men-cat tembok rumah, mencuci mobil, menjadi
“asisten” ketika ayah membetulkan mobil atau motor, bersepeda di dalam
kompleks, atau, bermain layangan! Coba kita ingat-ingat, betapa menyenangkannya
“hanya” dengan main layang-layang atau main sepeda. Problemnya bagi kita para
orang tua : maukah kita meluangkan waktu untuk anak kita? Maukah kita mengatasi
dan mengalahkan ke-engganan diri (mungkin kita lebih senang nonton TV dan sinetron
di rumah ketimbang panas-panasan di bawah terik matahari, atau berkutat pada
komputer di ruang kerja karena pikiran tidak bisa lepas dari pekerjaan) ?
Nah, dari semua alternatif di atas, tampaknya tidak
terlalu sulit untuk direalisasikan. Namun, apapun kegiatan yang akan dihadapi
dan dijalani, kendalanya biasanya ada di kita, para orang tua : maukah kita
keluar dari comfort zone – mengusahakan dan melakukan sesuatu
“diluar kebiasaan”. Selain itu, ada pula tantangan untuk kita para orang tua,
yang datangnya justru dari anak-anak kita sendiri. Seringkali, pola hidup dan
kebiasaan “keluarga” selama ini, yang di dominasi oleh kegiatan shopping ke
mall, nonton TV, main computer
game, atau chatting on
line, membuat anak-anak enggan untuk pergi ke tempat-tempat di luar shopping mall atau pun untuk melakukan kegiatan yang
sifatnya produktif. Mereka cenderung lebih senang nonton TV, main computer
game, atau kalau mau liburan – ya benar-benar harus pergi ke suatu tempat yang
jauh, misalnya ke Bali atau ke tempat lain yang mewah. Sebab – tidak selalu
finansial keluarga, men-support keinginan anak – bahkan keinginan kita sendiri
untuk menikmati “liburan” yang menyenangkan. Tanpa harus mengeluarkan dana yang
besar, kita selayaknya dapat mencari dan menemukan kebahagiaan dari kegiatan
yang sederhana, namun tidak kalah nilainya. Bagaimana pun juga, kebahagiaan itu
tidak diukur dari besar kecilnya uang yang kita miliki, bukan ? . (Sumber:
Artikel Psikologi) BK.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar